Corat Coret Kisah Pemikir Sakit

Kejadian kecil aja bisa jadi hal yang besar bila dipikirkan berlebihan.

Hidup ini seperti toko buku, didalamnya ada banyak buku bacaan, dari bacaan berat sampai bacaan ringan, tapi orang-orang lebih sering datang untuk bacaan ringan. -cinta-

Sabtu, 10 Desember 2011

Little sister, forgive me...!!


aku punya ade, Nur Hidayati. Dia sekarang lagi belajar dipondok pesantren, dia bodoh, kekanak-kanakan, suka bercanda, ga pernah serius, dia sudah berusia delapan belas tahun, tapi kelakuannya seperti anak masih sd atau smp, masih sering bercanda, teriak-teriak, jalan-jalan, padahal semua itu dilarang dipondok pesantren.
Beberapa bulan yang lalu, ia mendapat skor dari pondok, dan boleh kembali lagi kepondok dengan syarat mengubah kelakuannya. Aku yang mendengar itu langsung kaget, karena aku sangat tidak mengharapkan adikku keluar dari pondok.
Langsung aku menelepon rumah, dan melabraknya habis-habisan, aku keluarkan kemarahanku, dengan maksud untuk memperbaikinya tentu.
Selesai masa skor, ia kembali kepondok, ia diizinkan kembali kepondok dengan menandatangani pernyataan, bila dia tidak dapat memperbaiki kelakuannya maka ia tidak dapat menjadi santri lagi.
Nur mempunyai adik, Rafiah. Yang juga disekolahkan dipesantren yang sama. hari itu Rafiah sakit, dan aku diminta untuk menjemputnya pulang, saat aku mengunjungi kantor untuk menjemputnya aku ditemui oleh pengurus santri wanita, mereka ingin menyampaikan sesuatu, dikantor saat itu ada kedua adikku.
Ternyata mereka ingin menyampaikan bahwa Nur tidak juga menunjukan tanda-tanda kemajuan, masih seperti yang dulu, dan ia sudah menerima 2 kali peringatan dan sekali lagi ia melanggar akan dikeluarkan, dan saat itu pula datang kepala asrama wanita, seorang ibu.
"kebetulan nih antum datang" sapanya. Aku hanya tersenyum.
"ini masalah Hida, dia sepertinya sudah ga bisa ditangani disini, bla....bla.....bla".
Aku menanggapi dengan dewasa dihadapannya, saat kami sedang berbicara, adikku Nur tidak menegakkan kepalanya sama sekali, ia terus saja menunduk, ia menangis.
"maaf ya hida bukannya ibu mau nyakitin kamu" hibur ibu asrama padanya.
"biarin aja  bu, diemin aja biar dia sadar, lagian klo digituin malah tambah nyesek" tanggapku.
Setelah selesai semua urusan, aku mengantar Rafiah ke rumah, meninggalkan Nur sendiri di Pondok, sekalian berharap ia bisa mengoreksi diri, pikirku.
Seminggu telah berlalu, aku mendengar kabar Rafiah telah kembali kepondok, tapi ia masih mempunyai resep yang harus diminum selama masa penyembuhan.
Beberapa hari berlalu, ayah meneleponku, mengatakan obat Rafiah sudah habis dan harus dibelikan lagi karena masa penyembuhannya belum selesai. Kembali aku kepondok, menemui Rafiah, dan menanyakan obat apa saja yang harus dibeli. Dan pergi ke apotik untuk mendapatkan obatnya.
Setelah memberikan obatnya, aku ingin langsung pulang, tetapi aku heran mengapa Nur tidak menampakan dirinya dari awal aku tiba disini, biasanya dia yang pertama langsung menyerbuku dengan senyum bocahnya dan menjabat tanganku.
Sebelum pulang, aku menyempatkan diri ke kantor, ada temanku disana. Saat kami sedang ngobrol lewatlah gerombolan santri perempuan menuju  masjid untuk shalat ashar, aku memperhatikan mereka, dan aku melihat Nur diantara mereka, dia menengok kearahku, tapi dia tetap berjalan bersama teman-temannya, berlawanan dengan apa yang aku bayangkan bahwa ia akan langsung menuju kearahku dan dengan kekanakan minta uang.
Trztrztrz, ada listrik yang menyengat hatiku, aku terpaku sesaat, pikiranku kosong, tak tau harus berfikir apa, mengharapkan apa, berbuat apa saat itu. Pandangan dingin itu. Menyapu semua rasa bangga ku sebagai seorang kakak.
Pandangan itu, aku tau pandangan itu  karena aku juga mengalaminya. Pandangan ketidak puasan, pandangan kekecewaan.
Dimana keceriaannya??
Dimana teriak bahagianya??
Dimana ketawanya??
fuck, i mess up again.
Mengapa aku harus menyadari sesuatu setelah ada korban.
I know she's just childish good for nothing person. But she's had happines that can make this fucking world bowing to her.
Dia hanya seorang bocah yang ga bisa apa-apa, tapi ia punya kebahagiaan yang dapat membuat dunia ini tunduk padanya.
Dan aku menghapus kebahagiaan itu
Apa yang sudah kulakukan, aku mengubahnya menjadi seorang yang... shit......!!!
Seharusnya aku mengetahui dari awal, seharusnya aku menyadari dari pertama.
Aku tidak ingin ia menjadi sepertiku, aku tidak ingin ia menjadi orang yang dapat dipercaya oleh orang lain, aku tidak ingin ia menjadi pintar, tidak ingin ia menjadi sopan, tidak ingin ia menjadi kompeten, tetapi sebulan dua kali berpikir bagaimana caranya bunuh diri tanpa masuk neraka.
Parahnya, ia tidak punya kecerdasan dan integritas, ia hanya punya keceriaan, dan aku menghapusnya, lengkap sudah kejahatan yang ku perbuat.
Maafkan aku Nur.
Teriaklah sesukamu seperti dulu.
Bercandalah sampai kau lelah.
Bermainlah sampai kau puas.
Dan hapuslah tatapan itu, cukup aku saja yang mengalaminya.
Aku tak bisa memandangmu dengan engkau memiliki tatapan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tumpahkan semua isi kepala anda di sini.